Menunggu bukanlah pekerjaan yang aneh untuk saya beberapa hari terakhir. Sejak memutuskan untuk berhenti sejenak dari rutinitas pekerjaan, sebagian besar waktu saya dihabiskan dengan menunggu.
Menunggu hari esok tiba membawa kabar gembira.
Seperti halnya kabar keberangkatan keluarga menuju kampung halaman mama saya di Cianjur. Ya, liburan lebaran selalu menjadi ajang tali kasih mama dengan sanak saudara yang datang dari berbagai penjuru daerah untuk kembali pulang ke tempat dimana mereka dibesarkan. Namun, bagi seorang PNS yang giat bekerja seperti mama, acara silaturahmi tersebut sering terbentur dengan jadwal libur. Mama tidak selalu berhasil dalam mendapatkan cuti lebaran. Bahkan sering kali mama harus mengabdi pada tempat ia bekerja tepat di hari raya. Tidak perlu prihatin, karena kami sudah terbiasa. Beruntungnya, tahun ini mama bisa mensyukuri hari kemenangan bersama kami di rumah. Sudah lama rasanya saya tidak pergi ke masjid untuk menunaikan ibadah solat Ied bersama mama. Sungguh suatu kebahagiaan, akhirnya mama bisa 'menang' dari kekejaman jadwal kerjanya. Namun, tidak seperti keluarga lainnya yang bisa bepergian bahkan mudik. Mama memang mendapat libur pada hari itu, tetapi ia harus kembali bekerja keesokan harinya. Jadilah kami sekeluarga menunggu waktu libur mama untuk menikmati keriaan pulang kampung.
"Kapan sih kita mudik?"
Pertanyaan tersebut tak henti-hentinya saya lontarkan kepada siapa saja yang saya temui di rumah. Saya iri melihat teman-teman saya yang satu per satu pergi meninggalkan ibukota, baik pulang ke kampung halaman atau pergi mencari pengalaman. Sedangkan saya masih harus menggantungkan nasib pada kesibukan mama. Saya sungguh ingin mudik. Lebih tepatnya, berhenti sejenak menghirup campuran udara Bekasi dan Jakarta. Setiap membuka mata di pagi hari, saya bertanya pada Tuhan, "is it today?"
Pertanyaan yang memiliki banyak arti yang benar-benar bodoh untuk diucapkan. Tapi Tuhan pasti memaklumi ketololan saya yang disebabkan oleh kejenuhan akut yang semakin memperparah hari-hari saya sebagai seorang pengangguran. Mungkin saat itu Tuhan menertawai saya yang dengan muka jelek meratapi rasa bosan. Tak apa, saya ikhlas jika Tuhan bahagia melihat tingkah laku saya yang konyol, melihat situs penerbangan setiap hari guna mencari peluang untuk melarikan diri. Berbagai rencana perjalanan memenuhi otak saya yang mungil ini. Dari mulai kabur ke kota lain, pulau lain, negara lain, hingga benua lain. Bersyukur kala itu saya tidak terpikirkan untuk pergi ke alam lain. Hehehe.
Saya butuh kabur. Saya butuh tempat baru. Saya butuh suasana baru.
"You need to go somewhere, so will come with fresh ideas and ready to have a new life"
Bisikan yang entah darimana datangnya itu membuat saya berapi-api dalam menghitung biaya perjalanan. Tabungan perjalanan Eropa yang gagal saya gunakan sesungguhnya mampu menutupi seluruh biaya perjalanan rancangan saya kala itu. Tetapi entah mengapa saya tidak melakukan pemesanan tiket ataupun hotel, saya hanya melihat-lihat tanpa membuatnya menjadi nyata. Tak satupun rencana perjalanan yang saya inginkan saat itu, saya wujudkan.
Hingga akhirnya Tuhan mengasihani saya dengan mengabulkan impian sederhana saya, yakni mudik ke kampung halaman.
--
Pagi pertama saya di Cianjur terpaksa saya lewatkan begitu saja karena lelah yang mendera akibat perjalanan Jakarta-Cianjur membuat saya bangun lebih siang. Saya tak punya waktu panjang untuk memanjakan sang lelah lebih lama, karena saya harus menghadiri acara syukuran kelahiran putera ke-sekian dari uwak saya. Salah satu kelemahan saya adalah mengingat silsilah bahkan nama anggota keluarga besar, dari kedua pihak orangtua. Biasanya, saya mengingat seseorang karena sesuatu yang unik melekat padanya. Seperti uwak yang satu ini, dengan mudah saya mengingatnya karena ia memutuskan untuk tinggal di sebuah lokasi yang jauh dari perkotaan. Tepatnya, di tengah persawahan. (Saya ingat uwak tanpa ingat siapa istri dan berapa anaknya, hehe)
Cianjur dikenal sebagai kota penghasil beras, dan uwak Oleh (begitu ia kerap dikenal) tinggal di tengah-tengah hektaran padi yang menghijau. Sangat PAS!
Pertama kali saya ke rumahnya beberapa tahun lalu, saya takjub! Benar-benar terasa bagai bersantai di atas primadani hijau yang membentang luaasss sekali. Jangan bayangkan rumah gubuk berdinding anyaman rotan, karena uwak Oleh berhasil mendirikan istana bagi anak dan istrinya. Bangun rumah yang megah memang terasa kurang pas dengan lingkungan sawah seperti ini, tapi bukan urusan saya. Toh, saya menikmati juga sedikit manfaat dari keberhasilan uwak.
Tahun ini, rumahnya pun semakin besar. Beberapa bangunan baru menambah banyaknya ruangan di rumah uwak. Bahkan, kolam renang kini tersedia untuk melengkapi kehangatan keluarga. Saya berani bertaruh, kehangatan keluarga uwak pasti melebihi batas normal hingga mampu membuat mereka sanggup berenang dengan suhu minim ala kaki gunung. Hihihi.
Uwak juga menyediakan sebuah balkon luas sebagai sarana untuk menikmati hamparan hijau dan dinginnya wajah gunung Gede. Subhanallah. Betapa beruntungnya warga sekitar yang bisa menikmati pemandangan luar biasa indah ini setiap hari. Ingin rasanya saja loncat ke pematang sawah. Namun bayangan ular dan lintah yang mungkin saya jumpai mengaburkan keinginan tersebut. Saya pun mengedarkan pandangan ke arah segitiga raksasa yang penuh misteri. Meski begitu, saya yakin gunung Gede memiliki keindahan yang jauh lebih indah yang tidak pernah saya bayangkan. Setidaknya itulah gambaran gunung Gede yang saya dapat dari seorang pendaki gunung senior, Papa saya.
"Kapan berangkatnya?" sebuah suara memecah khayalan.
"Berangkat kemana?" jawab saya.
"Eropa. Katanya teteh mau jalan-jalan ke Eropa. Kapan?"
DAG. Sepersekian detik saya merasa terlempar ke gunung Gede dan mental masuk ke dalam mulut ular yang sedang menganga di tengah sawah. Bukan pertanyaan yang ingin saya dengar karena dipastikan mampu membuat saya menjadi nanar.
"Gak jadi. Gak dapet visa" jawab saya.
"Yah. Baru Anne mau titip oleh-oleh" ucapan polos dari adik sepupu tak sontak membuat kaki saya kembali lemas serta hati yang segera ingin berkemas, meninggalkan kenyataan bahwa saya gagal mewujudkan impian untuk membuka mulut lebar-lebar seraya menangkap udara musim gugur bulan September nanti.
Ya Allah, kuatkan saya.
Doa tersebut malah membawa saya kembali pada rencana perjalanan bersama kedua rekan yang kami untai sejak tahun 2011, yang kandas mendekati bulan keberangkatan. Berbagai masalah membuat kedua rekan saya menunda perjalanan. Berbekal keyakinan, saya mantap melanjutkan mimpi seorang diri. Mimpi untuk menjejakkan kaki di benua Eropa dengan jerih payah, keringat dan air mata serta pengorbanan saya selama satu tahun. Namun rupanya keyakinan saya belum cukup meyakinkan petugas visa di Kedutaan Belanda untuk memberikan ijin masuk alias visa. Dan semuanya menjadi tertunda, untuk periode waktu yang tak tentu.
Saya remuk. Hancur. Lebih hancur lagi ketika saya bercermin dan melihat senyum mengembang di bibir saya. A smile hides a broken soul. Pedih. Sedih. Untuk semua yang telah terjadi selama setahun dalam menghidupi mimpi agar menjadi nyata September nanti.
Ya Allah, apa yang sedang terjadi? Kenapa?
Saya merasa dipermainkan Tuhan. Pikiran picik itu muncul setiap saya melihat koleksi pakaian musim gugur-dingin yang sudah saya siapkan untuk perjalanan ini. Jika memang harus begini, kenapa Kau biarkan aku larut membangun mimpi? Kenapa tidak Kau hentikan aku saat merajut semua ini? Kenapa tidak dari awal Kau gagalkan rencanaku?
Di tengah amarah, saya malah merasa Tuhan merangkul saya, sangat kuat. Mungkin saat itu Ia sedang men-transfer sedikit kekuatanNya kepada saya. Tangis pun pecah.
Ya Allah, aku ingin memelukmu lebih erat agar aku tidak perlu menjadi kuat untuk menerima kenyataan bahwa ini adalah hasil dari kesalahan yang mungkin pernah ku perbuat.
--
Malam minggu di Cianjur dapat diartikan sebagai ajang dimana galau dan bosan tiba-tiba menjadi sangat kompak. Adik sepupu yang beranjak dewasa sudah memiliki rencana istimewa bersama dia yang tak kalah istimewa. Kakak saya pun telah melarikan diri sejak sore hari. Jadilah saya terkurung di rumah Nenek ditemani buku bacaan favorit.
"Cewek, malem mingguan yuk." Tiba-tiba saya mendengar suara favorit dari arah belakang. Ah sial, ternyata kegalauan saya sudah sangat kronis hingga dapat merubah suara Papa saya menjadi suara dia, seseorang yang sangat saya nantikan kehadirannya. Tanpa ragu, saya mengiyakan ajakan Papa dan membawa dua adik sepupu yang tampak senasib dengan saya, galau.
Kami memutuskan untuk lari dari kegalauan dengan menepi di sebuah kedai makanan yang sedang marak dikalangan muda-mudi Cianjur. Makanan khas yang dijual di kedai ini cukup unik di telinga saya, yaitu Tansu. Kependekan dari ketan susu. Selain itu, kedai ini memiliki beberapa menu kreasi pisang bakar. Namun kreativitas mereka dalam mengolah pisang bakar tersebut terdengar bak remaja labil yang lebay. Salah satu menunya adalah 'pisang bakar blueberry keju susu spesial'. No thanks. Takut kelebayan pisang akan menambah kegalauan saya. Tuh, saya sudah mulai lebay.
"Saya pesan tansu, ya." ucap saya kepada remaja penjual yang cenderung lucu dan unyu.
"Tansunya lagi habis. Ada juga pisang bakar stroberi spesial, pisang bakar blueberry keju susu spesial, blueberry cokelat spesial, dan spesial-spesial lainnya bisa dibaca di kertas menunya, teh"
"Oke, kalo gitu saya pesan blackberry spesial terbaru"
"Kalo itu belinya mah di toko henpon, atuh teh"
Haha. Lucu juga. Tapi kelucuan itu berubah menjadi kejengkelan ketika semua pesanan saya dinyatakan habis.
"Waduh, kayanya teteh berbaju biru kurang beruntung nih." Ia pun menambah jengkel ketika saya hanya disuguhi pisang bakar cokelat bukan spesial dan segelas air mineral. Kedua sepupu saya pun tertawa sambil menikmati pesanan masing-masing. Kejengkelan masih berlanjut ketika saya mencoba menghabiskan pisang bakar tersebut. Bukan makanan enak untuk disantap di malam minggu yang galau. Tumpukan cokelat yang lebay hampir membuat saya mengeluarkan seluruh isi perut. Segelas air mineral tak mampu menghilangkan rasa mual saya. Sialnya, itu adalah gelas terakhir yang dimiliki kedai itu. Sisanya kopi atau teh, yang tentunya akan memperparah gejolak perut dan tenggorokan saya.
Di malam mingu yang begitu kelabu, saya dengan serpihan hati yang membiru, menundukan kepala sambil menatap sepiring pisang bakar coklat berasa abu-abu, bertanya kepadaNya "Ya Allah, dari visa hingga pisang, tak adakah sedikit keberuntungan untukku?
Sebulir air mata jatuh tepat mengenai pisang yang tersisa.
--
Aku terjatuh dan tak bisa bangkit lagi
Aku tenggelam dalam lautan luka dalam
Aku tersesat dan tak tahu arah jalan pulang
Aku tanpaMU………
“Deekkk… Mandi!” Teriakan Mama merusak suasana melankolis yang disampaikan Rumors lewat lagu butiran debu tersebut. Untuk menghindari teriakan yang lebih dahsyat lagi, sayapun bergegas lari mengambil handuk yang terjemur di balkon atas rumah Nenek.
Perjalanan menuju balkon terasa sedikit berat karena saya harus melewati sebuah sofa empuk yang nyaman untuk ditiduri, meja penuh makanan yang menarik untuk disinggahi, serta tempat mencuci baju becek yang selalu saya hindari. Lebay? Yes. Namun semuanya terbayarkan oleh pemandangan rumah penduduk dari atas yang terlihat layaknya penumpang bus Transjakarta di sore hari, alias berdesak-desakkan, namun luar biasa cantik. Aktivitas penduduk semakin membuat pagi itu terasa begitu hidup. Dilatar belakangi gunung Gede dan dilengkapi dengan sawah dan empang, saya menarik nafas dalam-dalam menikmati segarnya udara Cianjur di pagi hari. Rasanya, setiap hembusannya pagi itu membawa jauh mimpi-mimpi sedih saya dan menggantinya dengan ketenangan batin. Untuk kesekian kalinya, Tuhan memeluk saya dengan erat dan mentransfer kenyamanan lewat jutaan keindahan, seraya mengatakan, “Selamat menikmati”
So sweet…
--